Kebun Binatang Surabaya (KBS), yang berdiri sejak 1916, telah menjadi ikon wisata keluarga di Jawa Timur selama lebih dari satu abad. Sebagai salah satu kebun binatang tertua di Asia Tenggara, KBS menyimpan sejarah panjang sebagai tempat konservasi satwa sekaligus ruang edukasi bagi masyarakat. Dengan luas sekitar 15 hektar dan koleksi lebih dari 2.000 satwa, tempat ini seharusnya menjadi kebanggaan warga Surabaya, bukan sekadar tempat hiburan semata, tetapi juga sarana pembelajaran dan rekreasi yang terjangkau.
Kebun Binatang Surabaya memang selalu menjadi destinasi favorit untuk menghabiskan waktu liburan bersama keluarga. Suasana yang rindang, aneka satwa yang menarik, serta lokasi yang strategis di tengah kota membuat KBS tetap relevan di tengah gempuran tempat wisata modern lainnya. Namun, belakangan ini, muncul suara-suara keluhan dari para pengunjung. Mereka bukan mengeluhkan fasilitas atau kebersihan, melainkan harga makanan dan minuman yang terlampau mahal. Ironisnya, harga tersebut kerap lebih tinggi dibandingkan harga di pusat perbelanjaan modern yang justru menawarkan kenyamanan lebih.
Salah satu pengunjung, Nanda, mengeluhkan pengalamannya saat membeli semangkuk gado-gado dan segelas es teh yang menghabiskan biaya hingga Rp 45.000. Kisah serupa juga dialami oleh banyak pengunjung lain yang merasa terjebak dengan harga makanan yang tidak masuk akal. Lantas, mengapa harga di KBS bisa semahal ini? Salah satu penyebab utamanya adalah biaya sewa kios yang dibebankan kepada pedagang. Beberapa penjual mengaku harus membayar hingga jutaan rupiah perbulan hanya untuk tempat berjualan. Alhasil, harga makanan pun ikut melambung tinggi. Selain itu, minimnya pilihan makanan membuat pedagang leluasa menaikkan harga tanpa khawatir kehilangan pembeli.
Dampaknya tidak main-main. Banyak keluarga terpaksa membatasi jajan anak-anak atau bahkan memilih tidak makan sama sekali selama berkunjung. “Anak saya minta es krim, tapi harganya Rp 25.000. Akhirnya saya bilang nanti saja beli di luar,” cerita seorang ibu yang enggan disebutkan namanya. Hal ini tentu mengurangi kenikmatan berwisata, terutama bagi anak-anak yang justru ingin menikmati suasana kebun binatang dengan ceria.
Sebenarnya, solusi untuk masalah ini tidaklah rumit. Pertama, pengelola bisa membuka lebih banyak lapak untuk pedagang kecil dengan harga sewa yang lebih terjangkau, sehingga. Kedua, kebijakan yang memperbolehkan pengunjung membawa bekal sendiri tentu dengan tetap menjaga kebersihan dan ketertiban bisa menjadi jalan tengah. Ketiga, penyediaan paket makanan keluarga dengan harga khusus yang lebih ramah kantong.
Masalah ini perlu segera ditanggapi secara serius oleh pihak pengelola. KBS bukan hanya soal koleksi satwa atau luas lahannya, tetapi juga soal kenyamanan dan keterjangkauan bagi pengunjung dari berbagai lapisan ekonomi. Jika harga makanan terus menjadi masalah utama, bukan tidak mungkin jumlah kunjungan akan menurun secara bertahap, seiring dengan hilangnya kepercayaan publik. KBS adalah warisan sejarah dan ruang publik yang punya potensi besar untuk menjadi wisata edukatif yang terjangkau dan ramah bagi semua kalangan. Maka, sudah seharusnya KBS memberikan pengalaman liburan yang menyenangkan dan penuh makna, bukan pengalaman yang membuat pengunjung merasa resah sebelum mereka benar-benar puas menikmati keindahan dan edukasi yang ditawarkan.
Penulis : Lia Nur Khasanah & Muhammad
Editor : Bayu