Harga yang Meloncat : Membedah perbedaan Jajanan Dalam dan Luar KBS

Kebun Binatang Surabaya (KBS) adalah salah satu destinasi wisata keluarga yang masih diminati kini. Setiap akhir pekan dan tanggal merah banyak pengunjung yang datang untuk melihat berbagai satwa yang ada dan menikmati indahnya alam, suasana hijau di tengah hiruk-pikuk kota.Namun ada satu pengalaman yang sangat umum dialami oleh banyak pengunjung :harga makanan di dalam area kebun Binatang terasa jauh lebih mahal dibandingkan dengan makanan yang dijual di luar gerbang utama  Namun, ada satu pengalaman yang cukup umum dikeluhkan para pengunjung: harga makanan di dalam area kebun binatang terasa jauh lebih mahal dibandingkan dengan makanan yang dijual di luar gerbang utama.

Sebut saja harga satu porsi bakso di dalam area food court KSB yang bisa mencapai   Rp25.000.Bandingkan dengan makanan serupa yang bisa dibeli di kaki lima di luar area wisata dengan harga dengan harga Rp10.000 sampai Rp15.000 Perbedaaan harga ini tidak hanya menunjukkan harga tetapi menimbulkan pertanyaan ekonomi yang menarik:apa yang menyebabkan harga bisa melonjak begitu tinggi hanya karena perbedaan Lokasi?

Perbedaan harga makanan di dalam dan diluar kebun Binatang Surabaya sebenarnya bisa dijelaskan dengan teori ekonomi dasar,yaitu permintaan dan penawaran serta konsep yang disebut “captive market” atau pasar yang “terkunci”.Pengunjung yang sudah berada di dalam kawasan KBS cenderung memiliki pilihan terbatas. Ketika pengunjung lapar dan haus ,mereka akan memilih untuk membeli makanan dan minuman di area kebun Binatang dengan alasan pengunjung tidak boleh keluar area karena tiket hanya berlaku untuk sekali masuk saja.. Akibatnya, mereka “terkunci” dan hanya bisa memilih dari beberapa stan makanan yang tersedia. Inilah yang disebut captive market: pasar di mana konsumen tidak punya banyak alternatif. Dalam kondisi ini ,pedagang memiliki daya tawar dan peluang yang tinggi .Mereka tahu bahwa pengunjung akan tetap membelinya tanpa berpikir Panjang dan merasa khawatir kalau jualan mereka tidak laku.. Prinsip ini berlaku tidak hanya di kebun binatang, tetapi juga di banyak tempat wisata lain seperti taman hiburan, bandara, atau bioskop.

Namun ,bukan berarti pedagang menaikkan Namun, bukan berarti pedagang menaikkan  harga semata- mata  kesempatan.Mereka Pun dikenai biaya operasional yang lebih tinggi dibanding pedagang kaki lima di luar.Sewa tempat di dalam kebun Binatang,iuran itu diperhitungkan sehingga adanya kenaikan harga yang melonjak Para pedagang tetap memastikan mereka berjualan juga harus mendapatkan keuntungan karena itulah tujuan utamanya

Jika kita keluar dari area KBS dan berjalan beberapa meter saja, kita akan menemui barisan pedagang kaki lima yang menjual makanan dengan harga jauh lebih bersahabat. Nasi campur Rp10.000, es degan Rp5.000, atau sate ayam Rp15.000 sudah bisa mengenyangkan perut. Mengapa mereka bisa menjual lebih murah?Jawabannya lagi-lagi ada pada struktur biaya dan sistem persaingan. Pedagang kaki lima umumnya tidak menyewa tempat formal. Mereka cukup menyewa lahan kecil atau bahkan hanya membayar retribusi ringan kepada pemerintah kota. Selain itu, mereka tidak perlu berbagi keuntungan dengan pengelola wisata, dan persaingan di antara sesama pedagang membuat harga cenderung ditekan agar tetap menarik bagi konsumen.Kondisi ini menciptakan apa yang bisa kita sebut sebagai harga rakyat—harga yang sesuai dengan kantong masyarakat umum. Ini juga yang membuat banyak pengunjung memilih menunda makan hingga keluar dari kebun binatang, demi menikmati makanan yang lebih murah dan kadang lebih autentik.

Namun, kita juga tidak bisa serta-merta menyalahkan food court di dalam KBS atas harga yang lebih tinggi. Di sana, pengunjung mendapatkan kenyamanan dan keamanan ekstra. Meja dan kursi tersedia, tempat makan bersih, ada atap pelindung dari hujan dan terik matahari, serta pengelolaan sampah yang baik. Beberapa bahkan menyediakan tempat bermain anak atau spot foto keluarga.Dengan kata lain, harga yang lebih mahal mencerminkan nilai tambah dari fasilitas dan pelayanan. Dalam ilmu ekonomi, ini disebut sebagai “utility” atau nilai guna—bukan hanya dari makanannya, tetapi dari pengalaman yang didapatkan secara keseluruhan.

Misalnya, seorang ibu yang membawa dua anak kecil tentu akan lebih memilih tempat makan yang bersih, teduh, dan aman, meski harus membayar sedikit lebih mahal. Sementara seorang mahasiswa yang terbiasa hidup hemat mungkin akan memilih makan di luar setelah keluar dari kawasan wisata.

Yang menarik dari fenomena ini adalah bahwa pada akhirnya, konsumen lah yang menentukan pilihan. Mereka bisa memilih membayar lebih untuk kenyamanan dan kepraktisan, atau berhemat dengan mencari alternatif di luar. Inilah inti dari kebebasan ekonomi: selama ada informasi yang jelas dan tidak ada paksaan, perbedaan harga bukanlah masalah, melainkan bagian dari dinamika pasar yang sehat.

Namun,tetap perlu ada batas wajar.Jika harga di dalam terlalu mahal maka tentu para pengunjung akan lebih memilih membawa jajanan atau makanan dari rumah atau memilih untuk makan di luar area kebun Jika harga di dalam terlalu mahal hingga terkesan memanfaatkan kondisi “terkunci” pengunjung, maka itu bisa menciptakan kesan negatif dan menurunkan minat untuk kembali. Oleh karena itu, penting bagi pengelola kawasan wisata seperti KBS untuk menjaga keseimbangan antara keuntungan dan kepuasan pengunjung.

Beberapa tempat  wisata di kota lain bahkan sudah mulai menerapkan sistem harga standarisasi,Dimana makanan dalam Kawasan wisata dipastikan tetap terjangkau tanpa mengorbankan kenyamanan dan kualitas makanan.Langkah seperti ini bisa menjadi inspirasi bagi pengelola KBS dan food court-nya.

Salah satu Solusi menarik yang bisa diterapkan adalah mengintegrasi pedagang kaki lima atau UKM lokal kedalam system foodcourt resmi KBS. Misalnya,pengelola KBS bisa menyediakan tempat khusus bagi UKM lokal dengan harga sewa yang ringan ,dengan syarat menjaga kebersihan dan standar pelayanan .Ini akan menciptakan situasi yang lebih baik dan seimbang pengunjung pendapat harga terjangkau dan penjual mendapat untung dan pemasukan.Selain itu,KBS mendapat reputasi sebagai tempat wisata yang merakyat.Program seperti ini juga akan mendukung misi pemerintah kota dalam pemberdayaan UMKM dan penciptaan lapangan kerja informal.Sebab sektor kuliner sering kali menjadi penyambung hidup bagi ribuan keluarga di kota-kota besar seperti Surabaya apalagi dengan penduduk yang terbilang banyak.

Perbedaan harga makanan di dalam dan luar Kebun Binatang Surabaya ternyata bukan sekadar cerita wisata biasa. Ia mencerminkan dinamika ekonomi yang kompleks—tentang bagaimana pasar bekerja, bagaimana nilai tambah dihitung, dan bagaimana konsumen harus cermat dalam membuat keputusan.

Apakah anda memilih nasi goreng Rp35.000  di dalam foodcourt atau menunggu keluar untuk membeli makanan sesuai kemampuan  dan untuk membeli seharga Rp15.000 dari pedagang kaki lima, semua itu sah-sah saja. Yang penting, Anda paham mengapa harga bisa berbeda. Disitulah letak kekuatan dari pemahaman ekonomi sehari-hari dari hal sederhana seperti sepiring makanan.Ekonomi tak selalu harus dibicarakan dalam angka rumit atau grafik. Ia bisa hadir lewat pengalaman kecil seperti memilih tempat makan saat berwisata. Dan siapa sangka, dari sebuah piring nasi goreng di kebun binatang, kita bisa belajar banyak tentang dunia pasar, kenyamanan, dan pilihan hidup.

Penulis : Monica Christiani & Ananda Nova Juniar

Editor : Bayu