Bu Aku Takut Sendirian

 

Namaku Joni, aku anak laki-laki pertama dikeluargaku. Badanku tegap, aku tampan, dan rambutku sedikit ikal. Ibu selalu memberiku kasih sayang sedari dulu, Ayahku selalu berjuang untuk kelangsungan hidup kami.

Semburat pagi memancar, sinarnya kian malu-malu diperlihatkan. Hari ini Pamanku membangun rumah. Seperti biasa warga di desaku selalu bergotong royong untuk membantu siapapun yang memiliki hajat atau acara. Oh ya, hari ini aku juga membantu Paman, bersiap dengan busana terbaikku, tentu bukan busana baru sebab akan beradu dengan debu.

“Jon, makan dulu sebelum bantu Paman”

“Iya Bu”

Suara cinta pertamaku terdengar lirih, menyuruhku menyantap makanan yang tengah ia sediakan diatas meja makan lengkap dengan taplak meja bermotif kotak-kotak peninggalan nenek tercinta.

Aku makan, menikmati satu demi satu nasi yang telah dimasak Ibuku, sayur mayur hijau, dan dua tempe goreng yang tersasar dipiringku. Bagiku masakannya tak ada duanya, ia Ibuku, cinta pertamaku, dan juru masak terbaik didunia.

Seberes makan aku bergegas menuju rumah Paman, kebetulan rumahnya tak jauh dari rumahku. Ya, rumah Paman ada dibelakang rumahku kala itu. Ku lihat telah banyak orang lalu lalang untuk bergotong royong membantu Pamanku membangun rumah. Aku menyesuaikan diri, mengikuti mereka melaksanakan tugas pagi itu.

Beberapa orang ku tawari bantuan seberes aku membantu yang lain. Tiba-tiba saat aku hendak mengangkat sebuah batu besar yang tertata dengan rapi dan ditindihi sebuah cangkul. Gagang cangkul melayang ke mukaku. Dahiku terbentur gagangnya, darahpun bercucuran keluar. Melihat hal itu semua tampak panik, aku kesakitan.

“Bawa ke rumah sakit, cepat” gemuruh suara

Aku mendengar gemuruh suara yang menyasar ditelingaku, semua tampak panik dan aku dilarikan ke rumah sakit. Rasanya saat itu aku sedang berada diantara hidup dan mati. Aku memeluk Ibuku dan berbisik lirih didekapannya.

“Sakit Bu” kataku

Ibu mendekap erat tubuhku, sesekali mataku melihat linangan air mata di wajah Ibu. Tak berselang lama Doktor mendatangi kami, ruangan dengan korden abu-abu itu menjadi saksi, Dokter membantuku mengurangi rasa sakitku.

“Sepertinya anak Bapak terkena syarafnya sehingga jika sembuh nantinya akan sulit kembali seperti sedia kala, benturan itu mengakibatkan fungsi otaknya melemah” kata Dokter bertubuh gagah itu

Mendengar itu Ayahku tertampar hebat, Ibuku menangis tersedu-sedu. Aku tak peduli apa yang mereka bicarakan. Rasanya aku hanya bisa merintih kesakitan diatas tempat tidur dengan bantal putih, dan selimut khas rumah sakit kala itu.

Ayah dan Ibu merawatku dengan cinta, mereka mencukupi segala yang aku butuhkan. Hingga sampai pada hari ke empat aku diperbolehkan untuk pulang, kembali ke rumah kami. Didepan gerbang rumah sakit mobil berwarna dasar silver terparkir rapi. Aku berjalan dipapah Ayah menuju mobil.

Sesampainya dirumah aku memandangi atap-atap rumah dengan teliti, rasanya kepalaku begitu pusing, segenggam ingatan hilang tak seperti semula. Semakin aku mencoba mengingatnya, semakin sakit kepalaku.

Hari-haripun berlalu, sudah hampir dua minggu aku dirumah, aku mulai bisa beraktivitas tapi tak seperti dulu. Hari-hari lebih banyak ku habiskan untuk menyendiri, berbaring diatas tempat tidur. Dulu aku bekerja, membantu mencukupi kebutuhan keluargaku.

Hari demi hari, Ibu berubah menjadi uring-uringan. Barangkali Ibu mengharapkanku seperti dulu, bisa membantu mencukupi kebutuhan keluarga kami. Namun saat aku memaksa untuk bisa pikiranku selalu tak sinkron dengan hatiku.

Mendengar Ibu selalu uring-uringan, akupun mulai tak menjadi aku. Pikiranku juga ikut kacau, emosiku semakin tak stabil. Perasaan bersalah, marah, dan sedih bercampur menjadi satu, sedangkan tekanan terus-terusan menghujamku. Tekanan-tekanan dari dalam diriku; aku kasihan pada Ibuku, aku tak ingin Ibu marah-marah, sedang aku juga tak bisa mengendalikan diriku yang semakin aneh ini.

Tampaknya kejadian kala itu sangat besar pengaruhnya dalam kehidupanku. Hantaman gagang cangkul itu melemahkan fungsi otakku. Aku tak bisa hidup seperti semula, orang-orang meninggalkanku satu per satu. Bahkan keluargaku selalu menganggapku lemah, keterbelakangan mental, dan sakit jiwa.

“Bu, aku tak ingin sendirian” ucapku dalam hati

Meski Ibu sesekali marah dan Ibu seringkali lelah, aku sering merasa kasihan padanya, dan aku seringkali merasa tak berguna. Tubuhku sering ku pukuli sendiri, tak terkecuali tingkahku yang semakin hari semakin tak seperti aku; Joni. Aku siapa? Mana Joni yang dulu? mana?

Aku sering bepergian kesana kemari. Rasanya dunia ini sesak, banyak manusia jahat, dan aku semakin tak tahu harus pulang ke pelukan siapa. Sepeda tua pemberian ayahku sering menemaniku, menggantikan jengkal demi jengkal kaki menyusuri jalanan.

Meski keluargaku terdiri dari beberapa orang, dirumah aku merasa hanya seorang diri, tak ada yang mau menemaniku. Sesekali Ibu mengantarkan makanan ke tempat tidurku. Makanan yang diletakan dipiring itu ku santap dengan pandangan kosong kala menatapnya. Ibu tetaplah Ibu, ia tetap peduli padaku meski sesekali aku dibentak, aku merasa diriku tak ada artinya.

Bersepeda membuatku merasa tenang, melepas penat, dan menyendiri. Namun selalu ada yang memandangiku dengan tatapan sinis, tatapannya penuh arti, mereka seperti enggan melihatku. Pikiranku semakin tak karuan, hingga ketika aku ditanyai seseorang yang merupakan tetanggaku, aku berucap kasar, dia semakin menganggapku stres.

“Ini makanan Jon” kata Budhe sambil menyodorkan makanan kepadaku

“Taruh situ aja” jawabku sembari melengos tak melihatnya

Budhe yang kala itu paham sekali bagaimana aku, menjadi tak heran jika mendapat respon seperti itu. Ia meletakan roti cokelat itu di kursi duduk, depan rumahnya. Orang-orang disekelilingku banyak yang mengabaikanku, aku sendirian.

Meski dunia menjahuiku namun aku yakin Ibuku selalu ada. Ibu selalu ada meski sesekali memarahiku, meski sesekali sedih melihat kondisiku. Kala itu Ibu hendak pergi ke sawah. Ia lupa tak menyiapkan makanan untukku. Aku kebingungan, hingga Ayah yang tak pernah melakukannya untukku mengambilkanku makanan. Aku senang sekali, akan tetapi tawaku tak lagi sama, aku sering tak dapat memperlihatkan raut bahagiaku lagi.

“Tadi Ibu lupa enggak menyiapkan makananmu, kamu sudah makan?” kata Ibu dengan nada bersalahnya

“Sudah, tadi ku beri” ujar Ayah

Bagaimanapun aku, seperti apapun kondisiku, Ibu selalu menyayangiku meski tak sama seperti dulu. Ia tetap mempedulikanku. Aku ingin sembuh, aku takut sendirian. Aku ingin bergaul dengan normal dilingkunganku seperti dulu.

Entah, aku semakin gundah. Malam-malam selalu ku habiskan sendirian. Satu dua kata saja yang ku ucapkan setiap harinya, banyak orang yang tak ingin mengenalku lebih dekat. Sampai hari ini masih sama, tak ada cerita bahagia yang menjadi penghujungnya.

Maaf

Bu, maaf jika aku tak seperti yang kau mau

Aku tak ingin seperti ini, aku ingin seperti dulu

Bu, apa kau ingat saat aku memberimu uang untuk berbelanja?

Ibu terlihat sangat bahagia

Bu, apa kau ingat saat aku mengantarkanmu ke pasar?

Aku tak dapat mengulangnya

Semoga Ibu selalu dapat mengingatnya

Aku Takut Sendirian

Aku tetaplah manusia

Mengapa aku tak sama?

Aku tak ingin sendiri

Rasanya aku selalu ingin seperti dulu lagi

 

Pantaskah aku bahagia?

Apa aku bisa seperti dulu ya?

Entah, pada bait do’a ke berapa

Aku selalu meminta hal yang sama

Karya; Sugiati, Anggota Aktif UKM-F Riset 2020.